OKO MAMA
Oleh :Kuss Indarto
Ide bahwa
seniman harus membuat lukisan untuk ekspresi pribadi melulu tanpa ambil pusing
orang lain, sebetulnya adalah ide baru. Banyak seniman yang suka menggemborkan
ide ini ternyata juga suka lain di mulut lain dalam tindakan. Henry Moore juga
bersedia disuruh Universitas Chicago membuat patung Bom-Atom-Meledak di kampus (di
mana atom untuk pertama kalinya meledak). …Mutu seni tidak ditentukan oleh
siapa yang mulai kerja seni itu. Demikian pula dengan kreativitas. Yang mulai
bisa seniman sendiri, bisa pemesan. Yang mengatur bentuk dan isi seni bisa seniman
sendiri bisa pemesan, bisa masyarakat, bisa adat, bisa agama, bisa ideologi,
bisa politik.
(Sudjoko, Majalah Budaya Jaya,
No.08, Tahun Ke-8, Februari 1975)
/Satu/
SEPERTI
halnya kawasan lain di Indonesia, selama ini propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
lebih banyak diposisikan sebagai objek seni rupa, belum kuat sebagai subjek
seni rupa. Asumsi tersebut memberi tengara bahwa kawasan ini belum memainkan
peran yang relatif penting dalam memberdayakan dirinya, mengeksplorasi berbagai
sumber daya—termasuk seniman yang ada di dalamnya sebagai nilai tambah (additional
value), untuk berperan di garis penting dan depan dalam peta seni rupa (di
Indonesia). Andaikan saya pribadi—yang berjarak cukup jauh secara geografis
dengan NTT—berusaha membincangkannya, belum banyak acuan dan fakta yang bisa
diserap (sebagai material), apalagi dalam ketergesaan dan keterbatasan waktu
sehingga bisa berpotensi seperti ungkapan “pelancong menangkap yang bodong,
peneliti menangkap nilai yang hakiki”. Kondisi seperti ini, tampaknya,
masih berlangsung hingga sekarang. Inilah yang menggiring asumsi “standar”
bahwa masih ada “pusat seni rupa” dan “bukan pusat”—meski anggapan ini ditolak
oleh kurator Mamannoor (almarhum) dengan menghindari terminologi tersebut dan
menggesernya dengan sebutan “kawasan”: seni rupa kawasan Yogyakarta, seni rupa
kawasan Kupang, seni rupa kawasan Ambon, dan sebagainya.
Apapun,
kalau mencoba melompat jauh ke sejarah di belakang, memang, ada yang bisa
ditimba dan diperbincangkan sebagai sedikit bekal awal—tentang posisi sebagai
objek itu. Dalam kilasan sejarah dapat disimak beberapa fakta sebagai salah
satu titik acuan. Misalnya, seperti yang dicatat oleh sejarawan Bernard
Dorleans dalam buku Orang Indonesia dan Orang Prancis: Dari Abad XVI sampai
dengan Abad XX (2006), yang disinggung bahwa pada tanggal 21 September
1801, dua kapal dengan bendera Prancis bernama Geographe dan Naturaliste,
mendarat di pelabuhan Kupang, pulau Timor. Rombongan dalam kapal itu terdiri
dari para ahli di bidang astronomi, geografi, kelautan zoologi, botani, dan
ilustrator. Setelah berbulan-bulan melakukan penelitian, mereka menghasilkan
banyak catatan dan artefak temuan, juga karya-karya ilustrasi dengan kualitas
mengagumkan untuk kepentingan bidang etnologi dan antropologi. Ilustrasi itu
dibuat oleh Alexandre Lesueur dan Nicolas Petit. Karya-karya tersebut hingga
kini masih tersimpan dan terawat di Museum Le Havre, Prancis. Artefak serupa
diduga juga dibuat oleh bangsa lain seperti Portugis, Spanyol serta Belanda
yang lebih dulu mendarat dan berdiam lebih lama di kawasan NTT, meski banyak
dipahami bahwa mereka mengawali kedatangannya untuk kepentingan berniaga,
penyebaran agama, dan kemudian melakukan kolonisasi—mulai dari mengeksploitasi
sumber daya alam hingga praktik perbudakan.
Contoh lain
perihal seni rupa dan kaitannya dengan NTT adalah kisah salah satu proklamator
republik ini, yakni Ir. Soekarno, yang diasingkan bersama keluarganya oleh
pemerintah kolonial Belanda di kota Ende, Solor atau Flores. Dalam masa
pembuangan antara tahun 1934 hingga 1938 tersebut Putera Sang Fajar ini punya
beberapa aktivitas, di antaranya mendirikan kelompok sandiwara bernama “Kelimutu”
dan melukis—di samping aktivitas pergerakan serta intelektual lain hingga
menemukan gagasan awal tentang Pancasila. Pada kurun waktu itu dia menulis dan
mementaskan dua belas lakon sandiwara, serta menuntaskan sekitar 10 karya
lukisan. Dua karya lukisan cat air yang cukup populer itu berjudul Kampung
Ambugaga, diperkirakan dibuat tahun 1936-1938, lalu Pantai Flores, berukuran
44 x 60 cm (sekitar 1934-1937), dan lukisan cat minyak bertajuk Upacara
Sesajen di Bali yang dikerjakan antara tahun 1934-1935 (Djuli Djati
Prambudi, Bung Karno, Seni Rupa, dan Karya Lukisnya, 2001, dan Mikke
Susanto, Bung Karno, Kolektor dan Patron Seni Rupa Indonesia, 2014).
Karya-karya lukis yang disebut itu sampai sekarang masih ada dan dikoleksi
secara pribadi (oleh kolektor non-negara) di Jakarta dan Surabaya.
Sementara di
seberang itu, fakta dan pencapaian yang ada di kawasan tersebut, tentu, tak
bisa dikesampingkan, seperti karya-karya kultural semisal tenun ikat, buna,
lotis, dan lainnya—yang telah berlangsung berabad-abad. Untuk konteks kali
ini kita belum diperbincangkan lebih jauh, meski karya-karya tersebut
mengiringi dan memberi spirit bagi karya-karya yang lahir pada konteks waktu
yang lebih baru di NTT.
/Dua/
Kalau kita
melesatkan pandangan untuk menyimak upaya gerak dan perkembangan seni rupa di
Nusa Tenggara Timur yang mencoba melepaskan diri dari penjara posisi sebagai
objek, pameran “Cahaya dari Timur” bisa menjadi salah satu penanda
penting. Pameran itu berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), 25-30 Mei
2013, dihelat oleh Taman Budaya NTT dengan melibatkan 13 seniman yang sebagian
besar tinggal dan berproses kreatif di kawasan NTT. Beberapa hal bisa diajukan
sebagai pembacaan atas perhelatan tersebut. Pertama, dalam relasi
subjek-objek seperti yang disinggung pada bagian awal catatan ini, maka
perhelatan tersebut justru berisiko mempertontonkan dengan cukup utuh posisi kawasan
ini sebagai objek. Tak pelak, dengan mengambil Yogyakarta sebagai situs untuk
berpameran, kesadaran adanya titik “pusat” dan “bukan pusat” masih kuat
mengemuka. Dan pihak yang “bukan pusat” seperti berusaha keras untuk merangsek
masuk di pusaran “pusat” untuk merebut perhatian. Kedua, mengacu pada
poin pertama, upaya merebut perhatian dengan masuk ke “pusat” itu memberi
sinyal kuat bahwa masih kuatnya ketimpangan dalam bangunan sistem
produksi-mediasi-apresiasi di seni rupa pada kawasan NTT (dan banyak kawasan
lain). Saya bisa menduga begitu minimalnya kondisi infrastruktur dan
infrastruktur seni rupa di sini sehingga para “produsen kreatif” masih terbatas
jumlah dan mutunya, ruang-ruang mediasi masih tercekat oleh banyak kendala,
sehingga potensi ruang apresiasi belum meluas seperti diharapkan. Maka, adanya
poin pertama di atas (yakni berpameran di Yogyakarta) memang pantas dimaklumi. Ketiga,
kalau terminologi “pusat” dan “bukan pusat” itu diandaikan dalam konteks
geopolitik Indonesia, maka kehadiran pameran tersebut relatif penting untuk
menandai terbangunnya interkoneksi antar-kawasan, seperti relasi NTT dan D.I.
Yogyakarta tersebut. Ini justru berseberangan dengan praduga pada poin pertama.
Lalu, kalau
sekarang ada program yang berkebalikan dari pameran “Cahaya dari Timur”
tahun 2013, yakni ketika Galeri Nasional Indonesia (GNI) menyambangi Kupang/NTT
lewat program Pameran Keliling Karya-karya Koleksi Terpilih GNI, apa yang bisa
dimaknai? Ini menarik karena, pertama, kalau mencoba mengaitkan kembali “pusat”
dan “bukan pusat” dalam konteks geopolitik, maka hal yang sedang digagas adalah
upaya penyandingan antara “pusat” dan bukan pusat” dengan konsep
kesetaraan/egaliter, bukan ordinat dan subordinat, atau patron dan klien. Di
sini ada sekian puluh karya koleksi GNI dan karya kreasi seniman NTT yang
dihadirkan dalam satu ruang dan momentum dalam satu bingkai kuratorial. Kedua,
meski terkesan seremonial, namun momentum pameran ini memberi pengharapan pada
gairah pertumbuhan kreatif para seniman dan apresian seni di kawasan ini. Maka,
ini juga merupakan forum penjajagan akan kebutuhan seniman dan publik seni di
sini.
Tajuk
kuratorial ini, Okomama: Bianglala Rupa Flobamorata, memiliki tendensi
kuat untuk menjadikan momentum sekaligus forum ini sebagai kesempatan melakukan
penguatan ruang-ruang kultural dalam masyarakat lewat jalur seni rupa. Kita
bisa mengandaikan bahwa pameran ini serupa okomama, tempat menyimpan
kapur, sirih, pinang, gambir dan material lain. Dari semangat okomama
kita bisa menyatukan spirit kebersamaan atas keberbedaan, berhimpun dalam
kesatuan untuk menguatkan sisi kelemahan dan kekurangan. Ada makna filosofis
yang ingin kami ajukan di sini bahwa pameran ini diandaikan sebagai ajang
bertemunya segenap perbedaan untuk dileburkan dalam satuan yang konstruktif dan
inspiratif.
Dengan fakta
atas kondisi geografis yang ada: NTT memiliki 1.192 pulau, 473 di antaranya
telah bernama, dan 42 buah pulau berpenghuni, serta 3.227.660 hektar atau
seluas 56,4% merupakan tanah yang tidak cocok untuk pertanian karena kemiringan
yang tajam dan kritis (Munandjar Widyatmika, Cendana dan Dinamika Masyarakat
Nusa Tengara Timur, 2014), maka kita bisa membayangkan betapa pertumbuhan
dan perkembangan kebudayaan, khususnya seni rupa, mempunyai tantangan yang
tidak mudah, spesifik dan tentu sangat berbeda dibanding kawasan lain. Inilah
gunung realitas yang bisa dibaca dan diurai sebagai titik persoalan berikut
kemungkinan pencarian solusinya.
Dibanding
program Pameran Keliling Karya Koleksi Terpilih GNI sebelumnya, pada perhelatan
di Kupang ini ada sedikit perbedaan—bahkan keistimewaan. Lazimnya, kami membawa
karya-karya seniman old master yang menjadi koleksi kami, seperti karya
Affandi, S. Soedjojono, Fadjar Sidik, Srihadi Soedarsono, Nashar, Basoeki
Abdullah, dan lainnya. Namun pada kesempatan ini, untuk pertama kalinya, kami
juga membawa karya pilihan GNI dari seniman mancanegara. Ada empat karya yang
kami bawa, yakni karya-karya seni grafis yang dikreasi oleh (1) Anna-Eva
Bergman, (tanpa judul), 1958, cukil kayu, 44x70 cm, (2) Sonia Delaunay, (tanpa
judul), 1957, litografi, 70 x 49,5 cm, (3) Hans Hartung, (tanpa judul),
lithografi, 55,5 x 76 cm, dan (4) karya Hans Arp, (tanpa judul & tahun),
litografi, 50x38 cm. Para seniman ini adalah deretan nama penting dalam dunia
seni grafis (printmaking) dan seni rupa dunia, khususnya di Prancis,
pada kurun dasawarsa 1950-an. Karya-karya itu adalah hibah dari para seniman
dunia tersebut yang dengan sukarela memberikannya pada KBRI Prancis tahun
1959—lewat Atase Pers (merangkap urusan kebudayaan), Ilen Surianegara.
Penyerahan karya tersebut merupakan respons seniman setelah mengemukanya
gagasan Presiden Sukarno yang berhasrat membangun museum seni rupa kontemporer
di Indonesia tahun 1959. Sayang, gagasan besar Bung Karno itu belum kunjung
terwujud hingga kini.
Untuk
pertama kalinya juga kami membawa koleksi lukisan karya anak, Labiqog
Az-Zahroh, berjudul “Topeng-topeng” (akrilik di atas kertas, 90 x 90 cm)
yang dikoleksi GNI tahun 2010 saat anak asal Malang, Jawa Timur tersebut
berusia 9 tahun.
/Tiga/
Pameran Okomama:
Bianglala Rupa Flobamorata ini mengetengahkan sekitar 20-an karya dari para
perupa/seniman dari kawasan Nusa Tenggara Timur yang bersanding dengan 20 karya
pilihan koleksi dari Galeri Nasional Indonesia. Tentu tak akan mungkin
mampu menghimpun sekian banyak potensi seniman dengan menampilkan
representasi tiap pulau besar, tiap kabupaten, atau berdasar pilahan kawasan
geografis tertentu. Sangat tidak mudah untuk dipenuhi. Namun, dari materi dan
seniman yang bisa dihadirkan ini, serentetan pertanyaan klasik bisa mengemuka:
pola representasi macam apakah yang bisa dibaca dari pameran ini? Apakah yang
bisa dibawa dalam presentasi karya ini bila para perupa Nusa Tenggara Timur ini
diasumsikan menjadi pengisi garda depan seni rupa di kawasannya? Ekspektasi apa
yang bisa ditangguk dari perhelatan semacam ini?
Beberapa
dugaan bisa saya kemukakan. Pertama, memberi kemungkinan pada perhelatan
ini agar difungsikan sebagai kerangka (awal atau dasar) dalam melakukan
pemetaan atas progres kreatif para (calon) seniman di beberapa kawasan di Nusa
Tenggara Timur. Poin pertama ini, tak pelak, kemudian bisa pula diresepsi bahwa
pameran Okomama: Bianglala Rupa Flobamorata, dalam gradasi tertentu,
bisa menjadi forum untuk membaca kemungkinan terbukanya “kaderisasi”,
“regenerasi”, atau apapun istilah yang telah usang dan diasumsikan “modernis”
itu. Dalam kalimat dan perspektif yang lebih menukik, saya kira, ini bisa
diasumsikan sebagai talent scouting event (perhelatan untuk pemanduan bakat).
Sebuah kalimat yang semoga tidak dipahami secara keliru dan reduktif sebagai
pengingkaran terhadap beberapa seniman yang relatif telah menjadi “bintang”
yang sudah mulai berkemilau dan terlibat dalam pameran ini.
Berikutnya,
dugaan kedua, pameran ini sedikit banyak juga berlaku
untuk melakukan pelacakan atas progres lembaga pendidikan seni dalam memberi
kontribusi terhadap praktik kreatif dan kognitif di wilayah ini dimana para
seniman yang terlibat di dalamnya berasal, berproses, dan berupaya melakukan
pembaruan demi perkembangan kreatif mereka. Ini realitas yang tak dapat
ditampik karena dewasa ini penghuni kanvas seni rupa Indonesia nyaris selalu
didominasi oleh perupa yang berasal dari dunia akademik. Namun, uniknya, peta
diskursus ihwal seni rupa justru tidak selalu—bahkan jarang—muncul dari kampus.
Kondisi faktual yang terjadi di Nusa Tenggara Timur saya kira juga menunjukkan
hal yang kurang lebih sama, yakni ketika para seniman non-akademis diduga juga
melakukan aktivitas yang rutin, progresif, sehingga turut mewarnai perkembangan
seni rupa di kawasan dimana dia berada.
Sudah barang
pasti bahwa publik tidak menutup fakta bahwa dunia akademis sudah sangat
gencar, organik, dan secara massif turut memberi sumbangan yang besar bagi
perkembangan yang terjadi. Masalahnya, perlu terus memberi alat ukur yang
memadai dan didinamisasikan terus-menerus agar mampu mengejar dan mengimbangi
perkembangan zaman. Dugaan di poin ini sebenarnya saya rasakan cukup “sembrono”
karena lembaga pendidikan (khusus) seni rupa di NTT kalau tak salah belum ada.
Baru ada di bidang humaniora, sastra dan disain komunikasi yang relatif agak
berdekatan kompetensinya.
Perhelatan
ini juga—sebagai dugaan ketiga—kiranya mampu dijadikan sebagai
“perangkat” untuk memeriksa kembali kontinuitas gairah kreatif yang
bersinggungan dengan gairah akan kesadaran sosial dalam kanvas seorang seniman
(muda). Saya kira ini akan bersangkut-paut dengan dua hal penting: sensibilitas
seniman dalam bersikap terhadap persoalan kemasyarakatan di seputarnya, dan
intelektualias seniman dalam membaca tiap geliat dinamika dunia pemikiran di
sekelilingnya. Ini menyangkut dunia gagasan yang diterakan seniman dalam
kanvasnya sebagai bagian dari artifak pemikiran. Terus terang, poin ini masih
lebih sebagai ekspektasi, karena kalau menyimak pada realitas karya, banyak
seniman yang masih lebih banyak mengedepankan dunia bentuk dengan segala
kompleksitas teknis dan eksplorasinya – ketimbang dunia gagasannya. Konsep dan
bayangan tentang kemungkinan munculnya karya yang memuat gagasan
ekstra-estetika atau di luar problem kebentukan dan dimensi artistik yang
melingkupi, relatif masih sulit ditemukan. (Simak kegundahan soal ini pada
catatan “Bianglala Asa Perupa Flobamorata” yang ditulis oleh Yohanes
K.N. (Yopie) Liliweri di katalog ini).
/Empat/
Perhelatan
pameran Okomama: Bianglala Rupa Flobamorata ini, bagi pihak Galeri
Nasional Indonesia (GNI), memiliki makna penting karena menyangkut banyak hal,
antara lain menjadikannya sebagai ruang untuk memediasikan dan mendistribusikan
misi dan visi GNI. Wajah GNI sendiri memiliki karakter ganda: di satu pihak
merupakan lembaga yang dengan karakter museum yang mengumpulkan koleksi karya
seni berikut aktivitasnya. Sementara di sisi lain memiliki karakter galeri yang
mengakomodasi aktivitas seni rupa seperti pameran, seminar, yang memuat dimensi
kebaruan, aktualitas dan dinamisasinya.
Galeri
Nasional Indonesia sendiri didisain sebagai lembaga kebudayaan dengan diawali
lewat pendirian Wisma Seni Nasional. Gagasan tersebut akhirnya terus berkembang
sebagai Pusat Pengembangan Kebudayaan, yang sebagian baru diwujudkan dengan
pembangunan Gedung Pameran Seni Rupa Departeman Pendidikan dan Kebudayaan pada
tanggal 23 Februari 1987 sebagai ruang dan sarana aktivitas seni rupa. Setelah
diperjuangkan secara intensif sejak tahun 1995, akhirnya Galeri Nasional
Indonesia terealisasi pendiriannya pada tanggal 8 Mei 1998 di Jakarta, dan
secara formal setahun kemudian fungsi barunya mulai dipergunakan.
Lembaga ini
dihasratkan memiliki tugas untuk melaksanakan tugas-tugas pengumpulan,
pendokumentasian, registrasi, penelitian, pemeliharaan, perawatan, pengamanan,
penyajian, penyebarluasan informasi, dan bimbingan edukatif tentang karya seni
rupa Indonesia, atau karya-karya seni rupa dari seniman asing yang telah
dikoleksi oleh GNI. Hingga saat ini, Galeri Nasional Indonesia memiliki kurang
lebih 1.600 karya koleksi dari para seniman Indonesia dan mancanegara. Koleksi
tersebut merupakan karya-karya para seniman dari lintasan sejarah seni rupa
masa lalu hingga kini. Mulai dari karya Raden Saleh Sjarief Boestaman, Hendra
Gunawan, Affandi, S. Sudjojono, Basuki Abdullah, Barli Sasmitawinata, Trubus,
Sujana Kerton, Popo Iskandar, Wakidi, Bagong Kussudiardjo, Fadjar Sidik, Henk
Ngantung, Dede Eri Supria, Ivan Sagita, Agus Kamal, Lucia Hartini, Nyoman
Gunarsa, Made Wianta, Iriantine Karnaya, FX. Harsono, Heri Dono, Bonyong Munni
Ardhie, dan lainnya. Karya-karya koleksi dari para seniman mancanegara antara
lain ada karya Wassily Kandinsky (Rusia), Hans Hartung (Jerman), Victor
Vassarely (Hongaria), Sonia Delaunney (Ukraina), Pierre Saulages (Perancis),
Zao Wou Kie (China), dan masih banyak lagi lainnya. Karya-karya tersebut
merupakan aset bangsa dan negara yang memiliki nilai budaya tinggi serta nilai
ekonomi yang terus membubung naik sesuai perkembangan zaman.
Oleh karena
itu, ada titik hubung kongruen bila dikaitkan dengan Galeri Nasional Indonesia
yang memiliki visi sebagai pusat kegiatan pelestarian dan penyajian kegiatan
karya-karya seni rupa yang berorientasi ke depan, dinamis, kreatif, inovatif,
dan sebagai wahana mewujudkan masyarakat Indonesia yang berbudaya dan memiliki
jati diri di tengah-tengah kehidupan antarbangsa di dunia. Sedangkan misinya
adalah melestarikan dan memasyarakatkan karya seni rupa Indonesia dan koleksi
GNI. Pihak GNI juga turut mengembangkan kreativitas di kalangan seniman dan
apresiasi seni rupa masyarakat, dengan kegiatan dan usaha mengembangkan
pemikiran, pandangan, dan tanggapan terhadap karya seni rupa. Selain itu juga
berupaya untuk memelihara perluasan cakupan komunikasi kreator dan apresiator.
Masih banyak poin penting dari visi dan misi GNI dalam kehadirannya di
tengah-tengah masyarakat.
Bukan tidak
berlebihanlah bila perhelatan ini diasumsikan memiliki nilai penting bagi
masyarakat (seni rupa) untuk turut mengapresiasi lebih jauh. Tentu tidak
mungkin membawa serta karya-karya koleksi dngan jumlah yang lebih banyak ke
kawasan seperti Kalimantan Barat ini. Namun, betapapun terbatasnya artifak
koleksi yang bisa disajikan, ini bisa diharapkan memberi gambaran atas kekayaan
dunia seni rupa Indonesia dalam berbagai kilasan waktu yang telah terjadi.
Karya-karya tersebut bisa dimungkinkan untuk menjadi jendela tempat menilik
perkembangan seni rupa Indonesia dengan berbagai dimensi dan dinamikanya.
Kehadiran karya-karya ini juga bisa dimungkinkan untuk ditempatkan sebagai
potongan cermin atas realitas sosial yang telah terjadi dan dipindahkan di
dalam “realitas estetik” atau “realitas kanvas”. Kerangka serupa juga relatif
terjadi pada karya-karya seni rupa yang disajikan leh para seniman Nusa
Tenggara Timur dalam perhelatan yang sama. Diharapkan pula perhelatan ini bisa
memberi suntikan spirit kreatif bagi para seniman Nusa Tenggara Timur, juga
menjadi energi positif bagi masyarakat awam untuk menambah perbendaharaan
pengetahuan tentang dunia seni rupa di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar