SELAMAT DATANG DI BLOG GALERI NASIONAL INDONESIA

Kepala Galeri Nasional Indonesia

Kepala Galeri Nasional Indonesia
Drs. Tubagus "Andre" Sukmana, M.iKom ( Galeri Nasional Indonesia merupakan salah satu lembaga museum khusus dan pusat kegiatan seni rupa yang bertujuan untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan koleksi seni rupa sebagai sarana edukatif-kultural dan rekreasi, serta sebagai media peningkatan kreativitas dan apresiasi seni. Lembaga ini diresmikan pada tanggal 8 Mei 1989. Saat ini bernaung dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Berlokasi dipusat Ibukota yang berdekatan dengan Monumen Nasional, Museum Nasional, Perpustakaan Nasional, Istana Negara, Masjid Istiqlal, Gereja Emmanuel serta Stasiun kereta Api Gambir. Tepatnya terletak di Jalan Medan Merdeka timur No. 14 Jakarta Pusat.)

Translate

Senin, 26 Mei 2014

SEJARAH SENI RUPA INDONESIA Oleh: Rany Martha Rullah

"SEJARAH SENI RUPA INDONESIA

Jauh sebelum dimulai perhitungan tahun masehi, dibeberapa tempat di daerah timur sudah memperlihatkan suatu kebudayaan yang bermutu tinggi. Dan sangat berpengaruh baik di timur maupun di daerah barat. Kesenian timur pada awal perkembangannya berpusat di Mesir, Mesopotamia dan India (lembah sungai Indus). Ketiga daerah ini menampilkan bentuk seni yang memiliki ciri khas masing – masing sesuai dengan kepercayaan, pandangan hidup dan tradisinya.
            Secara historis, seni rupa sangat terkait dengan gambar. Peninggalan-peninggalan prasejarah memperlihatkan bahwa sejak ribuan tahun yang lalu, nenek moyang manusia telah mulai membuat gambar pada dinding-dinding gua untuk mencitrakan bagian-bagian penting dari kehidupan. Sebuah lukisan atau gambar bisa dibuat hanya dengan menggunakan materi yang sederhana seperti arang, kapur, atau bahan lainnya.
Salah satu teknik terkenal gambar prasejarah yang dilakukan orang-orang gua adalah dengan menempelkan tangan di dinding gua, lalu menyemburnya dengan kunyahan dedaunan atau batu mineral berwarna. Hasilnya adalah jiplakan tangan berwana-warni di dinding-dinding gua yang masih bisa dilihat hingga saat ini. Kemudahan ini memungkinkan gambar (dan selanjutnya lukisan) untuk berkembang lebih cepat daripada cabang seni rupa lain seperti seni patung dan seni keramik.
Objek yang sering muncul dalam karya-karya purbakala adalah manusia, binatang, dan objek-objek alam lain seperti pohon, bukit, gunung, sungai, dan laut. Bentuk dari objek yang digambar tidak selalu serupa dengan aslinya. Ini disebut citra dan itu sangat dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis terhadap objeknya. Misalnya, gambar seekor banteng dibuat dengan proporsi tanduk yang luar biasa besar dibandingkan dengan ukuran tanduk asli. Pencitraan ini dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis yang menganggap tanduk adalah bagian paling mengesankan dari seekor banteng. Karena itu, citra mengenai satu macam objek menjadi berbeda-beda tergantung dari pemahaman budaya masyarakat di daerahnya.
Pada satu titik, ada orang-orang tertentu dalam satu kelompok masyarakat prasejarah yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk menggambar daripada mencari makanan. Mereka mulai mahir membuat gambar dan mulai menemukan bahwa bentuk dan susunan rupa tertentu, bila diatur sedemikian rupa, akan nampak lebih menarik untuk dilihat daripada biasanya. Mereka mulai menemukan semacam cita-rasa keindahan dalam kegiatannya dan terus melakukan hal itu sehingga mereka menjadi semakin ahli. Mereka adalah seniman-seniman yang pertama di muka bumi dan pada saat itulah kegiatan menggambar dan melukis mulai condong menjadi kegiatan seni.
Dalam dunia seni, seni rupa terbukti berdaya guna dan bertepat guna sebagai salah satu sarana kreatifitas dan sarana komunikasi. Dalam kaitan inilah seni rupa prasejarah Indonesia  harus dipelajari. Judul makalah ini sengaja dipilih karena menarik perhatian penulis untuk dicermati dan perlu mendapat dukungan dari semua pihak yang peduli terhadap seni rupa prasejarah Indonesia.

A. Seni Rupa Prasejarah
Zaman prasejarah (Prehistory) adalah jaman sebelum ditemukan sumber – sumber atau dokumen – dokumen tertulis mengenai kehidupan manusia. Latar belakang kebudayaannya berasal dari kebudayaan Indonesia yang disebarkan oleh bangsa Melayu Tua dan Melayu Muda. Agama asli pada waktu itu animisme dan dinamisme yang melahirkan bentuk kesenian sebagai media upacara (bersifat simbolisme).
a. Seni Bangunan
Manusia phaleolithikum belum meiliki tempat tinggal tetap, mereka hidup mengembara (nomaden) dan berburu atau mengumpulkan makanan (food gathering). Tanda – tanda adanya karya seni rupa dimulai dari jaman Mesolitik. Mereka sudah memiliki tempat tinggal di goa – goa. Seperti goa yang ditemukan di di Sulawesi Selatan dan Irian Jaya yang dimana pada dinding goa-goa tersebut terdapat berbagai macam gambar tentang kegiatan sehari ataupun cap tangan. Juga berupa rumah – rumah panggung di tepi pantai, dengan bukti – bukti seperti yang ditemukan di pantai Sumatera Timur berupa bukit – bukit kerang (Kjokkenmodinger) sebagai sisa – sisa sampah dapur para nelayan
Kemudian zaman Neolithik, manusia sudah bisa bercocok tanah dan berternak (food producting) serta bertempat tinggal tinggal di rumah – rumah kayu. Pada megalitik banyak menghasilkan bangunan – bangunan dari batu yang berukuran besar untuk keperluan upacara agama, seperti punden, dolmen, sarkofag, meja batu dll
  b. Seni Patung
Seni patung berkembang pada zaman Neolitik, berupa patung – patung nenek moyang dan patung penolak bala, bergaya non realistis, terbuat dari kayu atau batu. Kemudian pada masa megalithik banyak ditemukan patung – patung berukuran besar bergaya statis monumental dan dinamis piktural.
c. Seni Lukis
Dari zaman Mesolithik ditemukan lukisan – lukisan yang dibuat pada dinding gua seperti lukisan goa di Sulawesi Selatan dan Pantai Selatan Irian Jaya. Tujuan lukisan untuk keperluan magis dan ritual, seperti adegan perburuan binatang lambang nenek moyang dan cap jari. Kemudian pada zaman neolithik dan megalithik, lukisan diterapkan pada bangunan – bangunan dan benda – benda kerajinan sebagai hiasan ornamentik (motif geometris atau motif perlambang).

Lukisan di dinding Ceruk Ida Malangi, Pulau Muna, Sulawesi Tenggara

d. Seni Kriya
KRIYA SENI, KELAHIRAN DAN EKSISTENSINYA Ahmad BahrudinAbstrak: Kriya atau sering disebut dengan kerajinan dan dalam bahasa inggrisnya disebut dengan nama craft, pada mulanya diciptakan sesuai dengan kebutuhan pada zamannya, yaitu sebegai pemenuhan kebutuhan religi/beribadah pada lampau, dan kriya berkembang tidak lagi sebagai pemenuhan kebutuhan religi tetapi sebagai pemenuhan kebutuhan pokok manusia, pada umunya memiliki fungsi praktis/applied art pada masyarakat, maka kriya sekarang ini sudah mencerminkan perubahan-perubahan dari masa lalu. Perubahan itu tidak lepas dari pengaruh berbagai aspek dari waktu ke waktu seiring dengan kemajuan zaman yang sangat cepat. Sehingga muncul dua istilah dalam kriya yaitu istilah seni kriya dan istilah kriya seni, seni kriya bersifat pada pemenuhan kehidupan sehari-hari dan memiliki fungsi praktis, sedangkan kriya seni muncul karena adanya keinginan kriyawan untuk menambahkan ekspresi dalam karya kriyanya, sehingga lahir karya-karya kriya yang lebih menekankan pada nilai.

B. Seni Rupa Klasik
Pada galibnya suatu zaman dalam sejarah kebudayaan sesuatu bangsa dinamakan Klasik apabila mempunyai dua ciri:
1.    Masyarakat manusia dalam zaman itu telah menghasilkan tonggak-tonggak peradaban pertama yang akan menjadi dasar perkembangan peradaban selanjutnya di masa yang lebih kemudian, misalnya (mulai digunakan tulisan, sistem kalender, sistem kerajaan, konsep kepahlawanan, mitologi dewa-dewa, dan lainnya lagi).
2.      Banyak kaidah, aturan, konsep atau norma budaya yang berkembang dalam zaman tersebut terus saja digunakan hingga masa sekarang, jadi di zaman sekarang seringkali masih mengacu kaidah lama yang pernah berkembang sebelumnya di zaman awal kegemilangan peradaban bangsa tersebut. Bagi bangsa Indonesia, zaman Klasik yang sesuai dengan kedua syarat  tersebut adalah masa perkembangan agama Hindu-Buddha di Nusantara, oleh karena itu masa Hindu-Buddha kemudian dinamakan zaman Klasik Indonesia.

Berdasarkan  berbagai tinggalan arkeologisnya, zaman klasik dibagi menjadi dua periode, yaitu (a) zaman Klasik Tua yang berkembang antara abad ke-8—10 M, dan (b) zaman Klasik Muda berkembang antara abad ke-11—15 M. Kedua zaman itu berkembang di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Sumatera dan Bali, namun banyak bukti arkeologi dalam zaman Klasik Tua didapatkan di wilayah Jawa bagian tengah, oleh karena itu terdapat kepustakaan yang menyatakan agak keliru dengan sebutan “Zaman Jawa Tengah”. Adapun untuk zaman Klasik Muda disebut juga secara keliru dengan “Zaman Jawa Timur”, berhubung banyaknya temuan arkeologi dari abad ke-11—15 (sebenarnya baru mulai banyak sejak abad ke-13) yang terdapat di wilayah Jawa bagian timur. Justru pembagian zaman Klasik yang didasarkan kepada kronologi tersebut untuk memperluas cakupan kajian, jadi tidak melulu bicara tentang tinggalan di Jawa bagian tengah atau timur belaka (Munandar 1995: 108).
Masa sejarah di Indonesia dimulai setelah ditemukannya bukti prasasti-prasasti awal (bertarikh sekitar abad ke-4 M) ditemukan di wilayah Kutai, Kalimantan Timur yang menyebut nama raja Mulawarmman dan Jawa bagian barat yang menyebutkan Kerajaan Tarumanagara dengan rajanya Purnnawarmman. Prasasti-prasasti itu menggunakan aksara Pallava dengan bahasa Sansekerta (Suleiman, 1974: 14—15);  sedangkan nafas keagamaan yang terkandung dalam prasasti-prasasti tersebut bercorak Veda kuno, masih belum memuja Trimurti. Dalam masa sejarah itulah pengaruh kebudayaan India mulai datang dan berkembang secara terbatas di beberapa tempat di Nusantara.
Dalam masa selanjutnya pengaruh kebudayaan India awal yang menularkan ajaran Veda-Brahmana tersebut agaknya  tidak diminati lagi oleh masyarakat. Dengan menghilangnya kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat tidak ada kerajaan lainnya yang meneruskan ritual Veda Kuno yang didominasi oleh kaum Brahmana. Alih-alih kerajaan yang muncul kemudian di wilayah Jawa bagian tengah dalam abad ke-8 M bernafaskan Hindu Trimurti. Kerajaan itu adalah Mataram Kuno yang mengeluarkan Prasasti Canggal dalam tahun 732 M, dalam prasasti itu dinyatakan nama raja yang menitahkan penerbitan prasasti, yaitu Sanjaya. Nafas keagamaan yang cukup kentara dalam prasasti adalah Hindu-saiva, karena bait-baitnya banyak memuliakan Siva Mahadeva (Poerbatjaraka 1952: 53—55).
Bersamaan dengan masuknya pengaruh Hindu-saiwa, dalam masa yang hampir bersamaan datang pula pengaruh agama Buddha dari aliran Mahasanghika (Mahayana) ke tengah-tengah masyarakat Jawa Kuno. Dengan demikian di Jawa bagian tengah antara abad ke-8—10 M berkembang 2 agama besar, yaitu Hindu-saiwa dan Buddha Mahayana yang beraasal dari Tanah India. Dalam perkembangannya itu banyak dihasilkan berbagai bentuk kesenian, seni yang masih bertahan hingga sekarang adalah bukti-bukti seni rupa yang berupa arca dan relief serta dan kemajuan karya arsitektur bangunan suci. Demikianlah risalah singkat ini memperbincangkan perihal zaman Klasik Tua yang berkembang di wilayah Jawa bagian tengah, bukan di wilayah lainnya di Indonesia. Bukti arkeologis yang akan dijadikan data, adalah penggambaran relief dan arca-arca dewa, baik yang dikembangkan dalam lingkup kebudayaan India, dan juga arca dan relief yang dihasilkan oleh kebudayaan Klasik Tua di masa Jawa kuno di Jawa tengah.
  

Salah satu bagian relief dari Candi Borobudur

Pada patung Hindu-Budha, ragam hias yang paling umum digunakan adalah padma terataiPadmamelambangkan tempat duduk dewa tertinggi, terbentuknya alam semesta, kelahiran Budha, kebenaran utama, tempat kekuatan hayati dan suci bagi kaum Yogin), serta rasa kasih. Bentuk hias yang lain adalh swastika (melambangkan daya dan keselarasan agad raya), kalamakara (terdiri dari kala yang melambangkan waktu, dan makaramalambangkan makhluk seperti buaya), serta kinnara yang berwujud setengah manusia dan burung (anggota dari kelompok dewa penghuni langit).
Pengaruh zaman Hindu-Budha dalam bidang seni rupa sangat kental dalam bidang arsitektur, khususnya arsitektur pada bangunan candi. Candi di Indonesia dibedakan menjadi candi Hindu dan candi Budha.
a)      Candi Hindu
Arsitektur candi Hindu Indonesia memiliki gaya yang sama dengan India Selatan. Candi Syiwa Lara Jonggrang di Jawa Tengah, misalnya. Candi tersebut melukiskan penafsiran setempat yang terperinci mengenai tempat pemujaan agama Hindu yang menunjukkan ciri Syiwaisme.
b)     Candi Budha
Bangunan candi Borobudur, tidak ada hubungan gaya dengan India. Borobudur terdiri atas sepuluh tingkat konsentris. Enam tingkat paling bawah dirancang sebuah bidang persegi, sementara empat tingkat di atasnya merupakan stupa utama berbentuk lingkaran.

C. Seni Rupa Islam
Seni rupa Islam adalah seni rupa yang berkembang pada masa lahir hingga akhir masa keemasan Islam. Rentang ini bisa didefinisikan meliputi Jazirah Arab, Afrika Utara, Timur Tengah, dan Eropa sejak mulai munculnya Islam pada 571 M hingga mulai mundurnya kekuasaan Turki Ottoman. Walaupun sebenarnya Islam dan keseniannya tersebar jauh lebih luas daripada itu dan tetap bertahan hingga sekarang.
Seni rupa Islam adalah suatu bahasan yang khas dengan prinsip seni rupa yang memiliki kekhususan jika dibandingkan dengan seni rupa yang dikenal pada masa ini. Tetapi perannya sendiri cukup besar di dalam perkembangan seni rupa modern. Antara lain dalam pemunculan unsur kontemporer seperti abstraksi dan filsafat keindahan. Seni rupa Islam juga memunculkan inspirasi pengolahan kaligrafi menjadi motif hias. Dekorasi di seni rupa Islam lebih banyak untuk menutupi sifat asli medium arsitektur daripada yang banyak ditemukan pada masa ini, perabotan. Dekorasi ini dikenal dengan istilah arabesque.
Pengaruh Islam terhadap seni Indonesia merupakan hasil perdagangan yang dimulai sejak abd ke-11. Para pedagang dari Gujarat, India, membangun permukiman di sepanjang Pantai Timur Sumatra dan Aceh. Selanjutnya pusat-pusat kebudayaan Islam dibangun secara bertahap di Demak dan Jepara.
Pengaruh kebudayaan Islam terhadap seni rupa antara lain sebagai berikut.
a)      Pahatan Kubur dan Masjid
Beberapa makam islam paling tua menggunakan nisan bergaya Islam. Batu nisan gaya Gujarat ditemukan di Samudera Pasai (Aceh Utara) dan Gresik. Arsitektur masjid Indonesia pun berbeda dengan yang ditemukan di negara Islam lainnya. Masjid lama dibangun dengan mengikuti prinsip dasar bangunan kayu, dan disertai dengan pembangunan pendapa di bagian depan.
Selain itu juga memiliki atap tumpang yang memberikan ventilasi, dan disangga oleh deretan tiang kayu. Masjid-masjid tersebut terdapat di Cirebon, Banten, Demak, dan Kudus. Bagian dalamnya dihiasi pola bunga, satwa, dan bangun berulang. Letak piring-piring China, Vietnam, dan Thailand digunakanuntuk menyamakan lantai berwarna yang ditemukan di masjid Timur Tengah dan Moghul, India.

b)     Kaligrafi
Kaligrafi Islam, khususnya kaligrafi Arab, merupakan unsur penting dalam seni hias Islam. Begitu pula dengan seni kaligrafi Indonesia, sebagian besar mendapat pengaruh dari seni kaligrafi Arab. Benda-benda upacara yang ada di istana-istana, seperti belati, tombak, pedang, dan panji-panji sering dihiasi kaligrafi. Selain itu, hiasan kaligrafi juga nampak pada lukisan kaca dan ukiran kayu pada dinding istana. Tokoh wayang juga ada yang dihiasi oleh ragam hias kaligrafi untuk menyamarkan bentuk manusianya.

D. Seni Rupa Modern
Seni Rupa Modern adalah suatu karya seni rupa yang merupakan hasil kreativitas untuk menciptakan karya yang baru atau dengan kata lain karya seni rupa pembaruan. Kreativitas dalam seni rupa di dalamnya terdapat estetika, karakter, inovasi, dan originalitas.
Peirode Perintis (1826-1880),  perkembangannya diawali oleh pelukis Raden Saleh. Berkat pengalamannya belajar menggambar dan melukis di luar negeri seperti di Belanda, Jerman, Perancis, beliau dapat merintis kemunculan seni rupa Modern di Indonesia. Corak lukisannya beraliran Romantis dan Naturalis. Aliran Romantisnya menampilkan karya-karya yang berceritera dahsyat, penuh kegetiran seperti tentang perkelahian dengan binatang buas. Gaya Naturalisnya sangat jelas nampak dalam melukis potret.

          

Merapi” karya Raden Saleh

Peiode Indonesia Jelita, masa ini merupakan kelanjutan dari masa perintisan setelah pakum beberapa saat karena meninggalnya Raden Saleh. Kemudian munculah seniman Abdullah Surio Subroto dan diikuti oleh anak-anaknya, Sujono Abdullah, Basuki Abdullah dan Trijoto Abdullah. Pelukis-pelukis Indonesia yang lain seperti Pirngadi, Henk Ngantung, Suyono, Suharyo, Wakidi, dll.
Masa ini disebut dengan masa Indonesia Jelita karena pelukisnya melukiskan tentang kemolekan/keindahan obyek alam. Pelukis hanya mengandalkan teknik dan bahan saja. Karya Abdullah SR. (Pemandangan di sekitar Gn. Merapi, Pemandangan di Jawa Tengah, Dataran Tinggi di Bandung), karya Pirngadi (Pelabuhan Ratu), karya Basuki Abdullah (Telanjang, Pemandangan, Gadis sederhana, Pantai Flores, Gadis Bali, dll.)
Periode Persagi, pada masa ini di Indonesia sedang terjadi pergolakan. Bangsa Indonesia berjuang untuk mendapatkan hak yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain, terutama hak untuk merdeka dari penjajahan asing. Pergolakan di segala bidang pun terjadi, seperti dalam bidang kesenian yang berusaha mencari ciri khas Indonesia. Pelopor masa ini yang dikenal memilki semangat tinggi adalah S. Sdjojono, ia tidak puas dengan kehidupan seni rupa Jelita yang serba indah, karena dianggap bertolak belakang dengan kejadian yang melanda bangsa Indonesia.
Sebagai langkah perjuangannya maka S. Sudjojono dan Agus Jayasuminta bersama kawan-kawannya mendirikan PERSAGI (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia). Persagi bertujuan untuk mengembangkan seni lukis di Indonesia dengan mencari corak Indonesia asli. Konsep persagi itu sendiri adalah semangat dan keberanian, bukan sekedar kecakapan melukis melainkan melukis dengan tumpahan jiwa. Karya-karya S. Sudjojono (Di depan kelambu terbuka, Cap Go Meh, Jongkatan, Bunga kamboja), karya Agus Jayasuminta (Barata Yudha, Arjuna wiwaha, Dalam Taman Nirwana), karya Otto Jaya (Penggodaan, Wanita impian).
Peiode Pendudukan Jepang, kegiatan melukis pada masa ini dilakukan dalam kelompok Keimin Bunka Shidoso. Tujuannya adalah untuk propaganda pembentukan kekaisaran Asia Timur Raya. Kelompok ini didirikan oleh tentara Dai Nippon dan diawasi oleh seniman Indonesia, Agus Jayasuminta, Otto Jaya, Subanto, Trubus, Henk Ngantung, dll. Untuk kelompok asli Indonesia berdiri kelompok PUTRA (Pusat Tenaga Rakyat), tokoh-tokoh yang mendirikan kelompok ini adalah tokoh empat serangkai yaitu Ir. Sukarno, Moh. Hatta, KH. Dewantara dan KH. Mas Mansyur.
Khusus yang menangani bidang seni lukis adalah S. Sudjojono dan Affandi. Pelukis yang ikut bergabung dalam Putra diantaranya Hendra Gunawan, Sudarso, Barli, Wahdi, dll. Pada masa ini para seniman memiliki kesempatan untuk berpameran, seperti pameran karya dari Basuki Abdullah, Affandi, Nyoman Ngedon, Hendra Gunawan, Henk Ngantung, Otto Jaya, dll.
Periode Akademi (1950), Pengembangan seni rupa melalui pendidikan formal. Lembaga Pendidikan yang bernama ASRI yang berdiri tahun 1948 kemudiaan secara formal tahun 1950 Lembaga tersebut mulai membuat rumusan-rumusan untuk mencetak seniman-seniman dan calon guru gambar. Pada tahun 1959 di Bandung dibuka jurusan Seni Rupa ITB, kemudian dibuka jurusan seni rupa disemua IKIP diseluruh Indonesia.
Periode Seni Rupa Baru, pada sekitar tahun 1974 muncul kelompok baru dalam seni lukis. Kelompok ini menampilkan corak baru dalam seni lukis Indonesia yang membebaskan diri dari batasan-batasan seni rupa yang telah ada. Konsep kelompok ini adalah: (1) Tidak membedakan disiplin seni; (2) Menghilangkan sikap seseorang dalam mengkhususkan penciptaan seni; (3) Mendambakan kreatifitas baru; (4) Membebaskan diri dari batasan-batasan yang sudah mapan; (5) Bersifat eksperimental.

Tidak ada komentar: